Banjir Bandang Sumatera Tewaskan 1.068 Jiwa, Akademisi Desak Pemerintah Tetapkan Bencana Nasional
Korban tewas banjir bandang dan longsor di Sumatera tembus 1.068 jiwa. Akademisi menilai seluruh indikator bencana nasional terpenuhi dan mendesak pemerintah segera menetapkan status darurat nasional.-Foto:UMS/OfficialWeb-
SUMUT.DISWAY.ID - Jumlah korban meninggal akibat rangkaian bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat terus bertambah. Hingga 19 Desember 2025, total korban jiwa telah menembus 1.068 orang, menjadikannya salah satu bencana hidrometeorologi paling mematikan dalam sejarah Indonesia modern.
Di tengah skala kehancuran yang kian meluas, sikap pemerintah yang belum menetapkan status Bencana Nasional justru menuai kritik tajam dari kalangan akademisi. Guru Besar Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Dr. Kuswaji Dwi Priyono, M.Si., menilai pemerintah tengah berada dalam kondisi “kegamangan” dalam mengambil keputusan strategis.
Menurutnya, seluruh indikator penetapan bencana nasional sebagaimana diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 7 Ayat 2 telah terpenuhi secara nyata di lapangan. Bencana ini bersifat lintas provinsi, terjadi hampir serentak, menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar, serta membuat daerah sangat bergantung pada bantuan pemerintah pusat.
“Secara karakter, ini jelas bencana nasional. Ketergantungan daerah terhadap pusat sudah sangat tinggi. Maka penetapan status nasional bukan lagi opsi, melainkan keharusan,” tegas Prof. Kuswaji, dikutip dari laman resmi UMS, Jumat 19 Desember 2025.
Lebih Kompleks dari Tsunami Aceh 2004
Meski jumlah korban jiwa tidak melampaui Tsunami Aceh 2004, Prof. Kuswaji menilai proses pemulihan kali ini justru jauh lebih berat. Berbeda dengan tsunami yang airnya cepat surut kembali ke laut, banjir bandang meninggalkan lumpur tebal, tumpukan kayu gelondongan, serta material hutan yang menyulitkan pembersihan.
Kondisi geografis yang ekstrem membuat bantuan di sejumlah wilayah baru dapat menjangkau korban hingga sepuluh hari setelah kejadian. Fakta ini, menurut pengurus Pusat Ikatan Ahli Bencana Indonesia (IABI) tersebut, menjadi bukti kuat bahwa pemerintah daerah tidak lagi mampu menangani situasi tanpa komando penuh dari otoritas pusat.
Polemik Penolakan Bantuan Internasional
Sikap Presiden Prabowo Subianto yang menolak bantuan internasional juga ikut disorot. Prof. Kuswaji menilai keputusan tersebut tidak sepenuhnya keliru, mengingat bantuan luar negeri kerap membawa konsekuensi administratif dan operasional bagi negara yang sedang berada dalam kondisi darurat.
Namun, ia menekankan bahwa persoalan utama bukan terletak pada bantuan asing, melainkan pada pengakuan negara terhadap skala krisis yang tengah dihadapi. Penetapan status bencana nasional dinilai sebagai pintu masuk penting untuk konsolidasi lintas kementerian serta percepatan mobilisasi sumber daya domestik secara menyeluruh.
Bukti Deforestasi di Balik Banjir Bandang
Lebih jauh, Prof. Kuswaji mengungkap adanya indikasi kuat deforestasi dan alih fungsi lahan sebagai faktor pemicu banjir bandang. Hanyutnya kayu-kayu gelondongan yang menghantam permukiman warga disebut bukan sekadar akibat patahan alami, melainkan kayu hasil tebangan yang telah digergaji.
“Hutan kehilangan daya serapnya. Ketika hujan ekstrem datang, air langsung berubah menjadi aliran mematikan yang menyapu wilayah hilir,” ungkapnya.
Ia mendesak pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata guna lahan, dengan membandingkan keuntungan ekonomi industri ekstraktif seperti sawit dan tambang dengan kerugian besar akibat bencana, mulai dari rusaknya infrastruktur, hilangnya mata pencaharian, hingga trauma psikologis warga yang membutuhkan waktu panjang untuk pulih.
Sumber: