Saat Banjir dan Longsor Memutus Segalanya, Warga Terisolir Bertahan Hidup dengan Buah Durian

Saat Banjir dan Longsor Memutus Segalanya, Warga Terisolir Bertahan Hidup dengan Buah Durian

Hari ke-8 bencana banjir dan longsor di Tapanuli Tengah membuat warga terisolir bertahan hidup hanya dengan makan durian. Listrik padam, akses terputus, logistik menipis, dan ratusan ribu warga terdampak.-Foto:X@mkl-

SUMUT.DISWAY.ID - Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Tapanuli Tengah (Tapteng) memasuki hari kedelapan membawa luka yang belum juga mereda.  Dalam kesunyian desa-desa yang terputus, muncul cerita getir tentang bagaimana warga bertahan hidup—dengan makan buah durian yang jatuh dari hutan, satu-satunya sumber pangan yang masih bisa mereka raih.

Kondisi miris ini diungkap Bupati Tapanuli Tengah (Tapteng) Masinton Pasaribu di akun Instagram.

Listrik belum menyala, sinyal tak berdaya, jalan darat tidak dapat ditembus. Gelap malam terasa lebih pekat dari biasanya, sebab harapan pun ikut padam bersama kabel-kabel yang terputus. 

Stok beras mulai menipis, antrean panjang mengular di SPBNU, dan gas elpiji semakin langka. Kenyataan ini disampaikan langsung oleh Bupati Tapanuli Tengah, Masinto Pasaribu, lewat unggahan yang menggambarkan betapa berat situasi di wilayahnya.

Beberapa desa masih terisolir total. Tidak ada kendaraan yang bisa masuk, tidak ada bantuan yang bisa tiba dengan cepat. Di beberapa titik longsor, jenazah penduduk masih tertimbun. 

Evakuasi belum dapat dilakukan karena akses yang benar-benar lumpuh. Seakan bumi menutup luka sekaligus menyembunyikan duka.

Hingga Senin 1 Desember 2025 jumlah korban jiwa akibat bencana di Tapanuli Tengah mencapai 86 orang meninggal dunia dan 104 orang hilang. 

Ratusan ribu warga terdampak, sementara 2.111 jiwa terpaksa mengungsi dan meninggalkan rumah yang kini tak lagi aman untuk ditempati.

Di tengah keputusasaan itu, terdapat kisah yang begitu manusiawi. Warga desa terisolir memungut durian yang jatuh dari pohon sebagai pengganjal lapar. 

Aroma tajam yang biasanya jadi penanda musim panen, kali ini berubah menjadi isyarat bertahan hidup. Ketika dunia luar belum mampu menembus kabut bencana, buah durian menjadi harapan kecil yang menyisakan tenaga untuk menunggu bantuan datang.

Kisah ini bukan sekadar laporan bencana, tetapi potret keteguhan manusia menghadapi alam yang sedang murka. Tapteng kini berdiri di antara reruntuhan dan lumpur, namun denyut kehidupan di desa-desa terpencil itu belum padam. 

Mereka menunggu, dalam gelap, dalam diam, dengan durian sebagai pereda lapar, sampai bantuan bisa kembali masuk dan harapan bisa kembali dinyalakan.

Sumber: