Harimau dan Macan Tutul Muncul di Kantor dan Hotel, BRIN: Pertanda Hutan Indonesia Terancam

harimau masuk kantor BRIN, macan tutul muncul di hotel Bandung, fragmentasi hutan Sumatra Barat, solusi koeksistensi manusia-satwa-BRIN-
SUMUT.DISWAY.ID - Fenomena mengejutkan terjadi belakangan ini: seekor macan tutul Jawa terlihat di hotel Bandung, sementara harimau Sumatra muncul di kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Agam, Sumatra Barat. Video dan foto-foto kejadian ini viral di media sosial, namun di balik hebohnya terdapat pesan penting terkait kondisi hutan yang semakin terfragmentasi.
Prof. Hendra Gunawan, Peneliti Ahli Utama bidang konservasi keanekaragaman hayati Pusat Riset Ekologi BRIN, menegaskan bahwa fenomena ini bukan kebetulan.
“Harimau dan macan tutul adalah satwa penghuni inti hutan. Jika mereka muncul di kebun, jalan raya, atau bangunan, itu tanda mereka terpaksa keluar hutan untuk bertahan hidup,” ujar Hendra.
Menurut Hendra, penyebab satwa keluar dari habitatnya berlapis. Kerusakan habitat akibat pembukaan lahan, pembangunan jalan, dan permukiman memaksa mereka bergerak lebih dekat ke manusia. Selain itu, predator ini kerap mengejar mangsa seperti babi hutan dan monyet ekor panjang yang hidup di tepi hutan. Kehilangan orientasi di lingkungan baru juga membuat satwa menjadi panik ketika berada di bangunan beton tanpa vegetasi.
Fragmentasi Hutan: Akar Konflik Manusia-Satwa
Fragmentasi hutan menjadi akar utama meningkatnya interaksi manusia-satwa liar. Hendra menjelaskan, fragmentasi tidak hanya mengurangi luas hutan, tetapi juga memutus konektivitas antarhabitat, menghilangkan area inti, dan memperluas tepian hutan. Predator puncak seperti harimau Sumatra dan macan tutul Jawa membutuhkan wilayah jelajah luas. Ketika ruangnya terpotong, jantan muda atau tua terpaksa mencari wilayah baru, sering kali melewati permukiman.
Dari tahun 2005 hingga 2023, tercatat sedikitnya 137 insiden konflik manusia-harimau di Sumatra Barat, sebagian besar terjadi di kawasan dengan fragmentasi hutan parah, seperti Lanskap Cagar Alam Maninjau. Hendra mengingatkan bahwa tanpa tata ruang yang terintegrasi, konflik ini akan terus meningkat. “RTRW harus memuat koridor satwa, jalur jelajah, dan area konservasi yang saling terhubung,” jelasnya.
Koeksistensi Manusia-Satwa: Solusi Berkelanjutan
Pakar konservasi menekankan pendekatan human–wildlife coexistence, terdiri atas empat tahap:
- Avoidance (Penghindaran): Mencegah interaksi langsung melalui perencanaan ruang dan pengamanan ternak.
- Mitigation (Mitigasi): Mengurangi dampak konflik, misalnya mengusir satwa tanpa melukai dan memberi kompensasi kerugian.
- Tolerance (Toleransi): Membangun kesadaran masyarakat terhadap satwa liar.
- Coexistence (Koeksistensi): Menciptakan manfaat bersama melalui ekowisata berbasis komunitas atau pertanian ramah satwa.
Kehadiran harimau di kantor BRIN bukan sekadar kisah viral, tetapi alarm ekologis bahwa hutan kita sedang terganggu. Satwa liar tidak menyerang manusia; mereka hanya mencari ruang hidup.
Sumber: